Lantang suara Menteri
Pendidikan Nadiem Makarim mengumumkan bahwa tahun 2020 ini merupakan tahun
terakhir pelaksanaan ujian nasional untuk jenjang SMP dan SMA, kata bebas dan
merdeka menari girang di kepala saya. Perasaan haru bercampur senang juga turut
hadir menyambut keputusan tersebut. Layaknya kemenangan besar diraih setelah “perang”
berkepanjangan tanpa akhir dari zaman dahulu sampai sekarang. Tentu banyak
alasan mendasar kenapa saya menyebut kata perang ketika berhadapan dengan ujian
nasional dari semua tingkatan.
Kebijakan ujian nasional
dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan. Semua tergantung kepada siapa
pejabat tertinggi pengambil kebijakan ujian nasional. Diskursus tanpa henti dan
berkepanjangan seolah menghiasi ruang publik tatkala musim ujian nasional
hadir. Pro kontra ujian nasional dihapuskan atau tetap ada sebagai instrumen
menilai kualitas pendidikan Indonesia tiada henti digulirkan. Perkembangan
media televisi dan media sosial dalam 5 tahun terakhir inilah yang kemudian
membuat debat seputar desakan ujian nasional dihapuskan menjadi lebih gencar
menggempur ruang publik.
Sebagai guru, saya termasuk menjadi bagian
dari pelaku pelaksana ujian nasional dalam 10 tahun terakhir ini. Tentunya
tugas maha berat terpikul di pundak saya dan jutaan guru yang anak didiknya setiap
tahun menghadapi ujian nasional. Menyiapkan bahan soal-soal persiapan ujian
dari berbagai sumber, menyiapkan jadwal pelajaran tambahan, hingga memberikan
motivasi tanpa henti kepada siswa kelas 9 yang akan menghadapi ujian nasional
saat itu. Apakah ini memberatkan ? sejujurnya tidak. Tidak ada yang memberatkan
karena itu sudah menjadi tugas guru. Menyiapkan bahan materi pelajaran dan
memotivasi anak didiknya agar senantiasa berprestasi. Lalu, kenapa kata bebas
dan merdeka menyeruak dalam dada saya ketika wacana ujian nasional dihapuskan
mendapat lampu hijau dari pemerintah saat ini ? Karena selama ini kita berada
dalam kungkungan dan amat terimpit ketika berhadapan dengan ujian
nasional.
Kungkungan dan himpitan
akan target penyama rataan seluruh wilayah Indonesia. Bagaimana mungkin soal di
tingkat pusat Pendidikan bisa sama diujikan di kelas yang jauh nun di pelosok
pegunungan dan penghujung lembah. Ketika kita tahu betapa wilayah negeri indah
nan luas ini memiliki karakter dan kualitas pendidikan yang beragam. Penyeragaman
karakter dan nilai pengetahuan untuk seluruh kawasan dengan beda ragam corak
siswa adalah bentuk menyempitkan kebebasan berprestasi. Lulus tidaknya peserta
didik hanya dinilai dari aspek kongnitif belaka, mengenyampingkan potensi besar
dalam diri mereka.
Guru di kelas juga yang paling
merasakan kondisi psikologis siswa yang tertekan menghadapi standar limit nilai
kelulusan. orangtua yang pusing
memikirkan lulus atau tidak anak tercintanya nanti. Hasilnya, bimbingan belajar
dengan jaminan pasti lulus bermunculan bak jamur, kunci jawaban liar bertebaran
di fajar pagi. Hasil belajar 3 tahun tiada arti, karakter jujur hanya sebatas di
lisan. Semua demi sebuah status lulus !
Pun sudah menjadi
rahasia umum bahwa hasil ujian nasional menjadi tolak ukur keberhasilan
pendidikan di sutau wilayah. Mulai dari level puncak tertinggi kekuasaan hingga
ruang kelas, idiom presiden menekan menteri, menteri menekan gubernur, gubernur
menekan bupati, bupati menekan kepala dinas, kepala dinas menekan kepala
sekolah, sampailah kepada kepala sekolah menekan guru di kelas seolah
membenarkan hal itu. Semuanya hanya untuk membuat para petinggi “tersenyum” akan
keberhasilan semu yang mereka raih sebagai daerah dengan nilai ujian nasional
tertinggi. Lagi-lagi kita tidak bebas dan merdeka.
Bebas dan merdeka ! Sudah
saatnya anak-anak kita bebas menentukan kompetensi yang mereka inginkan di masa
mendatang kelak. Sudah bukan zamannya menyamaratakan kualitas dan kuantitas
pendidikan tiap individu. Semua anak didik kita memiliki kompetensi handal yang
beragam corak. Asesmen yang komprehensif dibutuhkan untuk memetakan potensi
diri. Bukan demi kata lulus, tapi siap menghadapi masa depan yang penuh
tantangan.
Tiada lagi ujian
nasional itu bebas ! bebasnya para pendidik yang ingin kelas mereka menjadi
kelas merdeka. Guru memiliki kemerdekaan tanpa batas untuk mengeskplorasi
seluruh potensi peserta didik. Kelas yang memberikan pengalaman mengajar
berkesan mendalam untuk peserta didik. Mengajar
dengan hati, mengajar dengan segenap potensi, bukan untuk mengejar target lulus
dan pintarnya siswa. Tapi, siswa yang cerdas, bertanggung jawab dan kompeten
menghadapi zaman.
Tiada ujian nasional itu
merdeka ! hati nurani bapak ibu guru akan terjaga untuk terus menyuarakan suara
kebenaran. Tiada lagi jeritan hati dari dalam yang tak terkeluarkan. Tiada lagi
tekanan batin yang menyakitkan untuk merubah nilai. Bebas dan merdeka untuk
kita bersama terlepas dari belenggu ujian nasional.
0 komentar:
Posting Komentar