Selasa, 07 Juli 2020

BEBAS DAN MERDEKA !



icebreakingpaksyabar SAGUSABLOG Satu Guru Satu Blog
Lantang suara Menteri Pendidikan Nadiem Makarim mengumumkan bahwa tahun 2020 ini merupakan tahun terakhir pelaksanaan ujian nasional untuk jenjang SMP dan SMA, kata bebas dan merdeka menari girang di kepala saya. Perasaan haru bercampur senang juga turut hadir menyambut keputusan tersebut. Layaknya kemenangan besar diraih setelah “perang” berkepanjangan tanpa akhir dari zaman dahulu sampai sekarang. Tentu banyak alasan mendasar kenapa saya menyebut kata perang ketika berhadapan dengan ujian nasional dari semua tingkatan.

Kebijakan ujian nasional dari tahun ke tahun selalu mengalami perubahan. Semua tergantung kepada siapa pejabat tertinggi pengambil kebijakan ujian nasional. Diskursus tanpa henti dan berkepanjangan seolah menghiasi ruang publik tatkala musim ujian nasional hadir. Pro kontra ujian nasional dihapuskan atau tetap ada sebagai instrumen menilai kualitas pendidikan Indonesia tiada henti digulirkan. Perkembangan media televisi dan media sosial dalam 5 tahun terakhir inilah yang kemudian membuat debat seputar desakan ujian nasional dihapuskan menjadi lebih gencar menggempur ruang publik.
 Sebagai guru, saya termasuk menjadi bagian dari pelaku pelaksana ujian nasional dalam 10 tahun terakhir ini. Tentunya tugas maha berat terpikul di pundak saya dan jutaan guru yang anak didiknya setiap tahun menghadapi ujian nasional. Menyiapkan bahan soal-soal persiapan ujian dari berbagai sumber, menyiapkan jadwal pelajaran tambahan, hingga memberikan motivasi tanpa henti kepada siswa kelas 9 yang akan menghadapi ujian nasional saat itu. Apakah ini memberatkan ? sejujurnya tidak. Tidak ada yang memberatkan karena itu sudah menjadi tugas guru. Menyiapkan bahan materi pelajaran dan memotivasi anak didiknya agar senantiasa berprestasi. Lalu, kenapa kata bebas dan merdeka menyeruak dalam dada saya ketika wacana ujian nasional dihapuskan mendapat lampu hijau dari pemerintah saat ini ? Karena selama ini kita berada dalam kungkungan dan amat terimpit ketika berhadapan dengan ujian nasional. 
Kungkungan dan himpitan akan target penyama rataan seluruh wilayah Indonesia. Bagaimana mungkin soal di tingkat pusat Pendidikan bisa sama diujikan di kelas yang jauh nun di pelosok pegunungan dan penghujung lembah. Ketika kita tahu betapa wilayah negeri indah nan luas ini memiliki karakter dan kualitas pendidikan yang beragam. Penyeragaman karakter dan nilai pengetahuan untuk seluruh kawasan dengan beda ragam corak siswa adalah bentuk menyempitkan kebebasan berprestasi. Lulus tidaknya peserta didik hanya dinilai dari aspek kongnitif belaka, mengenyampingkan potensi besar dalam diri mereka.
Guru di kelas juga yang paling merasakan kondisi psikologis siswa yang tertekan menghadapi standar limit nilai kelulusan.  orangtua yang pusing memikirkan lulus atau tidak anak tercintanya nanti. Hasilnya, bimbingan belajar dengan jaminan pasti lulus bermunculan bak jamur, kunci jawaban liar bertebaran di fajar pagi. Hasil belajar 3 tahun tiada arti, karakter jujur hanya sebatas di lisan. Semua demi sebuah status lulus !
Pun sudah menjadi rahasia umum bahwa hasil ujian nasional menjadi tolak ukur keberhasilan pendidikan di sutau wilayah. Mulai dari level puncak tertinggi kekuasaan hingga ruang kelas, idiom presiden menekan menteri, menteri menekan gubernur, gubernur menekan bupati, bupati menekan kepala dinas, kepala dinas menekan kepala sekolah, sampailah kepada kepala sekolah menekan guru di kelas seolah membenarkan hal itu. Semuanya hanya untuk membuat para petinggi “tersenyum” akan keberhasilan semu yang mereka raih sebagai daerah dengan nilai ujian nasional tertinggi. Lagi-lagi kita tidak bebas dan merdeka.
Bebas dan merdeka ! Sudah saatnya anak-anak kita bebas menentukan kompetensi yang mereka inginkan di masa mendatang kelak. Sudah bukan zamannya menyamaratakan kualitas dan kuantitas pendidikan tiap individu. Semua anak didik kita memiliki kompetensi handal yang beragam corak. Asesmen yang komprehensif dibutuhkan untuk memetakan potensi diri. Bukan demi kata lulus, tapi siap menghadapi masa depan yang penuh tantangan.
Tiada lagi ujian nasional itu bebas ! bebasnya para pendidik yang ingin kelas mereka menjadi kelas merdeka. Guru memiliki kemerdekaan tanpa batas untuk mengeskplorasi seluruh potensi peserta didik. Kelas yang memberikan pengalaman mengajar berkesan mendalam  untuk peserta didik. Mengajar dengan hati, mengajar dengan segenap potensi, bukan untuk mengejar target lulus dan pintarnya siswa. Tapi, siswa yang cerdas, bertanggung jawab dan kompeten menghadapi zaman.
Tiada ujian nasional itu merdeka ! hati nurani bapak ibu guru akan terjaga untuk terus menyuarakan suara kebenaran. Tiada lagi jeritan hati dari dalam yang tak terkeluarkan. Tiada lagi tekanan batin yang menyakitkan untuk merubah nilai. Bebas dan merdeka untuk kita bersama terlepas dari belenggu ujian nasional.

0 komentar:

Posting Komentar